Rabu, 20 Oktober 2010

Perjalanan Kurikulum Di Indonesia

JAWABAN SOAL MID SEMESTER
MATA KULIAH: TELAAH KURIKULUM PAI DI MTS







MAKALAH

Makalah

Disusun dan Diajukan Untuk Memenuhi Ujian Mid Semester
Mata Kuliah: Telaah Kurikulum PAI di MTs
Dosen Pengampu: Ahsan Hasbullah



Disusun oleh :
Nama : Akhmad Fauzan
Nim : (072331005)




Tarbiyah/ PAI-1/Smester VI


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PURWOKERTO
2010




1. Hubungan konsep-konsep pendidikan dengan kurikulum

Kurikulum memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan teori pendidikan. Suatu kurikulum disusun dengan mengacu pada satu atau beberapa teori kurikulum dan teori kurikulum dijabarkan berdasarkan teori pendidikan tertentu. Hubungan konsep-konsep pendidikan dengan kurikulum tersebut adalah sebagai berikut.

a. Teori Pendidikan Klasik (classical education),
Teori pendidikan klasik berlandaskan pada filsafat klasik, seperti Perenialisme, Essensialisme, dan Eksistensialisme dan memandang bahwa pendidikan berfungsi sebagai upaya memelihara, mengawetkan dan meneruskan warisan budaya. Teori pendidikan ini lebih menekankan peranan isi pendidikan dari pada proses. Isi pendidikan atau materi diambil dari khazanah ilmu pengetahuan yang ditemukan dan dikembangkan para ahli tempo dulu yang telah disusun secara logis dan sistematis. Dalam prakteknya, pendidik mempunyai peranan besar dan lebih dominan, sedangkan peserta didik memiliki peran yang pasif, sebagai penerima informasi dan tugas-tugas dari pendidik.
Pendidikan klasik menjadi sumber bagi pengembangan model kurikulum subjek akademis, yaitu suatu kurikulum yang bertujuan memberikan pengetahuan yang solid serta melatih peserta didik menggunakan ide-ide dan proses ”penelitian”, melalui metode ekspositori dan inkuiri.

b. Teori Pendidikan Pribadi (personalized education).
Teori pendidikan ini bertolak dari asumsi bahwa sejak dilahirkan anak telah memiliki potensi-potensi tertentu. Pendidikan harus dapat mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki peserta didik dengan bertolak dari kebutuhan dan minat peserta didik. Dalam hal ini, peserta didik menjadi pelaku utama pendidikan, sedangkan pendidik hanya menempati posisi kedua, yang lebih berperan sebagai pembimbing, pendorong, fasilitator dan pelayan peserta didik.
Teori ini memiliki dua aliran yaitu pendidikan progresif dan pendidikan romantik. Pendidikan progresif dengan tokoh pendahulunya- Francis Parker dan John Dewey – memandang bahwa peserta didik merupakan satu kesatuan yang utuh. Materi pengajaran berasal dari pengalaman peserta didik sendiri yang sesuai dengan minat dan kebutuhannya. Ia merefleksi terhadap masalah-masalah yang muncul dalam kehidupannya. Berkat refleksinya itu, ia dapat memahami dan menggunakannya bagi kehidupan. Pendidik lebih merupakan ahli dalam metodologi dan membantu perkembangan peserta didik sesuai dengan kemampuan dan kecepatannya masing-masing. Pendidikan romantik berpangkal dari pemikiran-pemikiran J.J. Rouseau tentang tabula rasa, yang memandang setiap individu dalam keadaan fitrah,– memiliki nurani kejujuran, kebenaran dan ketulusan.
Teori pendidikan pribadi menjadi sumber bagi pengembangan model kurikulum humanis. yaitu suatu model kurikulum yang bertujuan memperluas kesadaran diri dan mengurangi kerenggangan dan keterasingan dari lingkungan dan proses aktualisasi diri. Kurikulum humanis merupakan reaksi atas pendidikan yang lebih menekankan pada aspek intelektual (kurikulum subjek akademis),

c. Teori Teknologi Pendidikan,
Teknologi pendidikan yaitu suatu konsep pendidikan yang mempunyai persamaan dengan pendidikan klasik tentang peranan pendidikan dalam menyampaikan informasi. Namun diantara keduanya ada yang berbeda. Dalam tekonologi pendidikan, lebih diutamakan adalah pembentukan dan penguasaan kompetensi atau kemampuan-kemampuan praktis, bukan pengawetan dan pemeliharaan budaya lama. Dalam konsep pendidikan teknologi, isi pendidikan dipilih oleh tim ahli bidang-bidang khusus. Isi pendidikan berupa data-data obyektif dan keterampilan-keterampilan yang yang mengarah kepada kemampuan vocational .
Isi disusun dalam bentuk desain program atau desain pengajaran dan disampaikan dengan menggunakan bantuan media elektronika dan para peserta didik belajar secara individual. Peserta didik berusaha untuk menguasai sejumlah besar bahan dan pola-pola kegiatan secara efisien tanpa refleksi. Keterampilan-keterampilan barunya segera digunakan dalam masyarakat. Guru berfungsi sebagai direktur belajar (director of learning), lebih banyak tugas-tugas pengelolaan dari pada penyampaian dan pendalaman bahan.
Teknologi pendidikan menjadi sumber untuk pengembangan model kurikulum teknologis, yaitu model kurikulum yang bertujuan memberikan penguasaan kompetensi bagi para peserta didik, melalui metode pembelajaran individual, media buku atau pun elektronik, sehingga mereka dapat menguasai keterampilan-keterampilan dasar tertentu.

d. Teori Pendidikan Interaksional,
Pendidikan interaksional yaitu suatu konsep pendidikan yang bertitik tolak dari pemikiran manusia sebagai makhluk sosial yang senantiasa berinteraksi dan bekerja sama dengan manusia lainnya. Pendidikan sebagai salah satu bentuk kehidupan juga berintikan kerja sama dan interaksi. Dalam pendidikan interaksional menekankan interaksi dua pihak dari guru kepada peserta didik dan dari peserta didik kepada guru. Lebih dari itu, interaksi ini juga terjadi antara peserta didik dengan materi pembelajaran dan dengan lingkungan, antara pemikiran manusia dengan lingkungannya. Interaksi ini terjadi melalui berbagai bentuk dialog.
Dalam pendidikan interaksional, belajar lebih sekedar mempelajari fakta-fakta. Peserta didik mengadakan pemahaman eksperimental dari fakta-fakta tersebut, memberikan interpretasi yang bersifat menyeluruh serta memahaminya dalam konteks kehidupan. Filsafat yang melandasi pendidikan interaksional yaitu filsafat rekonstruksi sosial.
Pendidikan interaksional menjadi sumber untuk pengembangan model kurikulum rekonstruksi sosial, yaitu model kurikulum yang memiliki tujuan utama menghadapkan para peserta didik pada tantangan, ancaman, hambatan-hambatan atau gangguan-gangguan yang dihadapi manusia. Peserta didik didorong untuk mempunyai pengetahuan yang cukup tentang masalah-masalah sosial yang mendesak (crucial) dan bekerja sama untuk memecahkannya.

2. Perkembangan Kurikulum Pendidikan di Indonesia:

sejak tahun 1947 dunia pendidikan di Indonesia mengalami beberapa perubahan dalam merancang format pendidikan yaitu dalam setiap periode tertentu menbgalami perubahan kurikulum, dimana perubahan tersebut bertujuan untuk memperbaiki kualitas pendidikan di Indonbesia, perubahan kurikulum tersebut ialah sebagai berikut:

1) RENCANA PELAJARAN 1947
Kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah leer plan. Dalam bahasa Belanda, artinya rencana pelajaran, lebih popular ketimbang curriculum (bahasa Inggris). Perubahan kisi-kisi pendidikan lebih bersifat politis: dari orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan nasional. Asas pendidikan ditetapkan Pancasila.
Rencana Pelajaran 1947 baru dilaksanakan sekolah-sekolah pada 1950. Sejumlah kalangan menyebut sejarah perkembangan kurikulum diawali dari Kurikulum 1950. Bentuknya memuat dua hal pokok: daftar mata pelajaran dan jam pengajarannya, plus garis-garis besar pengajaran. Rencana Pelajaran 1947 mengurangi pendidikan pikiran. Yang diutamakan pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat, materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani.

2) RENCANA PELAJARAN TERURAI 1952
Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut Rencana Pelajaran Terurai 1952. Silabus mata pelajarannya jelas sekali. seorang guru mengajar satu mata pelajaran, Di penghujung era Presiden Soekarno, muncul Rencana Pendidikan 1964 atau Kurikulum 1964. Fokusnya pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral (Pancawardhana). Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi: moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis.

3) KURIKULUM 1968
Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat politis: mengganti Rencana Pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde Lama. Tujuannya pada pembentukan manusia Pancasila sejati. Kurikulum 1968 menekankan pendekatan organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Jumlah pelajarannya 9. Hanya memuat mata pelajaran pokok-pokok saja, Muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tidak mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan. Titik beratnya pada materi apa saja yang tepat diberikan kepada siswa di setiap jenjang pendidikan.

4) KURIKULUM 1975
Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efisien dan efektif. Yang melatar belakangi adalah pengaruh konsep di bidang manejemen, yaitu MBO (management by objective) yang terkenal saat itu,
Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Zaman ini dikenal istilah satuan pelajaran, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci lagi: Petunjuk Umum, Tujuan Instruksional Khusus (TIK), Materi Pelajaran, Alat Pelajaran, Kegiatan Belajar-Mengajar, dan Evaluasi. Kurikulum 1975 banyak dikritik. Guru dibikin sibuk menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran.

5) KURIKULUM 1984
Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering disebut Kurikulum 1975 yang disempurnakan. Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Learning (SAL).
Tokoh penting dibalik lahirnya Kurikulum 1984 adalah Profesor Dr. Conny R. Semiawan, Kepala Pusat Kurikulum Depdiknas periode 1980-1986 yang juga Rektor IKIP Jakarta ” sekarang Universitas Negeri Jakarta ” periode 1984-1992. Konsep CBSA yang elok secara teoritis dan bagus hasilnya di sekolah-sekolah yang diujicobakan, mengalami banyak deviasi dan reduksi saat diterapkan secara nasional. Sayangnya, banyak sekolah kurang mampu menafsirkan CBSA. Yang terlihat adalah suasana gaduh di ruang kelas lantaran siswa berdiskusi, di sana-sini ada tempelan gambar, dan yang menyolok guru tak lagi mengajar model berceramah. Penolakan CBSA bermunculan.


6) KURIKULUM 1994 dan SUPLEMEN KURIKULUM 1999
Kurikulum 1994 bergulir lebih pada upaya memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya. Jiwanya ingin mengkombinasikan antara Kurikulum 1975 dan Kurikulum 1984, antara pendekatan proses,
Perpaduan tujuan dan proses belum berhasil. Kritik bertebaran, lantaran beban belajar siswa dinilai terlalu berat. Dari muatan nasional hingga lokal. Materi muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasa daerah kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain. Berbagai kepentingan kelompok-kelompok masyarakat juga mendesakkan agar isu-isu tertentu masuk dalam kurikulum. Walhasil, Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat. Kejatuhan rezim Soeharto pada 1998, diikuti kehadiran Suplemen Kurikulum 1999. Tapi perubahannya lebih pada menambal sejumlah materi.

7) KURIKULUM 2004
Bahasa kerennya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Setiap pelajaran diurai berdasar kompetensi apakah yang mesti dicapai siswa. Sayangnya, kerancuan muncul bila dikaitkan dengan alat ukur kompetensi siswa, yakni ujian. Ujian akhir sekolah maupun nasional masih berupa soal pilihan ganda. Bila target kompetensi yang ingin dicapai, evaluasinya tentu lebih banyak pada praktik atau soal uraian yang mampu mengukur seberapa besar pemahaman dan kompetensi siswa.
Meski baru diujicobakan, toh di sejumlah sekolah kota-kota di Pulau Jawa, dan kota besar di luar Pulau Jawa telah menerapkan KBK. Hasilnya tak memuaskan. Guru-guru pun tak paham betul apa sebenarnya kompetensi yang diinginkan pembuat kurikulum. (sumber: depdiknas.go.id). Secara Juridis, Kurikulum 2004 sebenarnya belum pernah disyahkan sebagai Kurikulum oleh Menteri Pendidikan Nasional.

8) KTSP 2006
Awal 2006 ujicoba KBK dihentikan. Muncullah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Pelajaran KTSP masih tersendat. Hal ini ditandai dengan diluncurkunnya Permendiknas RI Nomor 22 tentang Standar Isi, Permendiknas RI Nomor 23 Tentang Standar Kompetensi Lulusan dan Pemendiknas RI Nomor 24 Tentang Pelaksanaan Kedua Permen dan disempurnakan dengan Permendiknas RI Nomor 6 Tahun 2007. Tinjauan dari segi isi dan proses pencapaian target kompetensi pelajaran oleh siswa hingga teknis evaluasi tidaklah banyak perbedaan dengan Kurikulum 2004.
Perbedaan yang paling menonjol adalah guru lebih diberikan kebebasan untuk merencanakan pembelajaran sesuai dengan lingkungan dan kondisi siswa serta kondisi sekolah berada. Hal ini disebabkan Kompetensi Dasar (KD), standar kompetensi lulusan (SKL) setiap mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan telah ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional melalui Permendiknas di atas.. Jadi pengambangan perangkat pembelajaran, seperti silabus dan sistem penilaian merupakan kewenangan satuan pendidikan (sekolah) dibawah koordinasi dan supervisi pemerintah Kabupaten/Kota.

KONSEP DASAR KTSP (KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN)

KONSEP DASAR KTSP
(KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN)
Oleh: Akhmad Fauzan

A. Pengertian KTSP
Dalam Standar Nasional Pendidikan (SNP Pasal 1, ayat 15) dikemukakan bahwa Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan adalah kurikulum operasioal yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. Penyususunan KTSP dilakukan oleh satuan pendidikan dengan memperhatikan dan berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang dikembangkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan dan silabus.

B. Landasan Penyususnan KTSP
KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) disusun dalam rangka memenuhi amanat yang tertuang dalam undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. UU No 20 Tahun 2003 pasal 36 ayat 1 dan 2, menyebutkan bahwa:
1) Pengembangan kurikulum mengacu pada Standar Nasional Pendidikan untuk mewujudkan Tujuan Pendidikan Nasional.
2) Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan sikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.

Dalam Penyusunan KTSP perlumi di pahami beberapa hal, diantaranya ialah sebagai berikut:
1. KTSP dikembangkan sesuai dengan kondisi satuan pendidikan, ;potensi dan karakteristik daerah, serta sosial budaya masyarakat setempat dengan p[eserta didik.
2. Sekolah dan Komite Sekolah mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi lulusan, di bawah supervisi dinas pendidikan kabupaten/kota, dan departemen agama yang bertanggung jawab di bidang pendidikan.
Kurikulum tingkat satuan pendidikan untuk setiap program studi di perguruan tinggi dikembangkan dan ditetapkan oleh masing-masing perguruan tinggi dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan.
Secara singkat kurikulum tingkat satuan pendidikan dilandasi oleh undang-undang dan peraturan pemerintah sebagai berikut:
1. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2004 tentang Sisdiknas.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
3. Permendiknas No. 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi.
4. Permendiknas N0. 23 Tahun 2006 Tentang Standar Kompetensi Lulusan.
5. Permendiknas No. 24 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Permendiknas No. 22 da 23.

C. Komponen KTSP
Di dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan pada umumnya terdiri dari:
1. Tujuan Pendidikan Tingkat Satuan Pendidikan
Perumusan tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan mengacu pada tujuan umum pendidikan berikut:
a. Tujuan Pendidikan dasar adalah meletakan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
b. Tujuan pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, keperibadian, akhlak mulia serta keterampilan hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
c. Tujuan pendidikan menengah kejuruan adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, keperibadian, akhlak mulia serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai denghan kejuruannya,
2. Struktur dan Muatan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
Struktur kurikulum tingkat satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah tertuang dalam standar isi, sedangkan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan meliputi sejumlah mata pelajaran yang keluasan dan kedalamannya merupakan beban belajar bagi peserta didik pada satuan pendidikan. Disamping itu, materi muatan lokal dan kegiatan pengembangan diri termasuk ke dalam isi kurikulum.
3. Kalender Pendidikan
Satuan pendidikan dapat menyusun kalender pendidika sesuai dengan kebutuhan daerah, karakteristik sekolah, kebutuhan peserta didik dan masyarakat, dengan memperhatikan kalender pendidikan sebagaimana tercantum dalam Standar Isi.
4. Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pengajaran
Silabus merupakan penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam materi pokok, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian. Berdasarkan silabus inilah guru bisa mengembangkankannya menjadi Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang akan diterapkan dalam kegiatan belajar mengajar (KBM) bagi siswanya.

D. Karakteristik KTSP
Karakteristik KTSP bisa diketahui antara lain dari bagaimana sekolah dan satuan endidikan dapat mengoptimalkan kinerja, proses pembelajaran, pengelolaan sumber belajar, profesionalisme tenaga kependidikan, serta system penilaian. Secara garis besar karakteristik KTSP tersebut ialah sebagai berikut:
1. Pemberian otonomi luas kepada sekolah dan satuan pendidikan.
2. Partisipasi masyarakat dan orang tua yang tinggi.
3. Kepemimpinan yang demokratis dan professional
4. Tim-tim kerja yang kompak dan transparan








BAB III
KESIMPULAN


Sebagaimana yang telah dibahas dalam makalah tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa KTSP (Kurikulum Tinjgkat Satuan Pendidikan) merupakan kurikulum yang dibuat sebagai kurikulum pengembang dari kurikulum senelumnya yaitu Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Pada hakikatnya antara KBK dan KTSP intinya sama, yaitu sama-sama berbasis kompetensi, Cuma dalam KTSP diberikan sebuah kewenangan kepada masing-masing lembaga pendidikan untuk mengelolanya.
Hal ini merupakan usaha untuk bisa memeratakan pendidikan menurut kebutuhan lembaga pendidikan, peserta didik dan masyarakat masing-masing, yaitu sebagai langkah dalam pemberian otonomi daerah. Dengan adanya KTSP diharapkan lajunya roda pendidikan akan lebih terarah secara sistematis dengan tidak mengabaikan kebutuhan masyarakat. Terimakasih………….. dan semoga kualitas pendidikan kita akan tetap terus maju dan berkembang,.








DAFTARA PUSTAKA

Dwi Priyanto, Kerangka Perkuliahan dan Bahan Pembelajaran Telaah Kur. PAI di SLTP.

Khaearuddin, Mafud Junaedi, dkk, KTSP Konsep dan Implementasinya di Madrasah, Nuansa Aksara: Jogjakarta 2007.

Masnur Muslich, KTSP Dasar Pemahaman dan Pengembangan, PT. Bumi Aksara: Jakarta 2007.

Mansur Muslich, KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual, PT. Bumi Aksara: Jakarta 2007, Hlm: 29-32.

KEWAJIBAN MENCARI ILMU Bagi Setiap Orang Muslim (Hadis Anas Bin Malik Riwayat Ibnu ‘Abdil Barr dll )

KEWAJIBAN MENCARI ILMU
Bagi Setiap Orang Muslim
(Hadis Anas Bin Malik Riwayat Ibnu ‘Abdil Barr dll )














MAKALAH
TAFSIR HADIS TARBAWI
Disusun dan Diajukan Guna Memenuhi Tugas Terstruktur

OLEH :

Akhmad Fauzan (072331005)
Tarbiyah/ Pendidiakn Agama Islam (PAI-1)
Dosen Pengampu : M. Misbah, M.Ag.


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
PURWOKERTO
Hadis Kewajiban Mencari Ilmu Bagi Setiap Muslim

طلب ا لعلم فر يضة على كل مسلم وان طلب العلم يستغفر له كل شيى حتى الحيتان فى البحر
(رواه ابن عبد البر عن انس)
Artinya:
“Mencari ilmu wajib bagi setiap muslim dan sesungguhnya orang yang mencari ilmu itu akan dimohonkan ampun baginya oleh setiap sesuatu sampai ikan-ikan besarpun akan memohonkan ampun baginya.”
حد ثنا هشام بن عمار حد ثنا حفص بن سليمن حد ثنا كثير بن شنظير عن محمد بن سيرين عن انس بن مالك قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم (( طلب العلم فر يضة على كل مسلم وواضع العلم عند غير اهله كمقلد الخنا زير الجوهر وللؤلؤ والذهب ))
Artinya:
“Menceritakan kepada kami Hisyam bin Ammr, Menceritakan kepada kami Hafsh Bin Syinzir dari Muhammad Bin sirrin, dari Anas Bin Malik, Rasulullah SAW Bersabda: “Mencari ilmu adalah fardhu bagi setiap orang islam, dan orang yang memberikan ilmu bagi selain ahlinya adalah seperti orang yang mengalungkan babi dengan mutiara, permata dan emas.
Hadis_hadis diatas merupakan hadis yang menyatakan bahwa setiap muslim wajib untuk mencari ilmu. Dalam Islam, nilai keutamaan dari pengetahuan keagamaan berikut penyebarannya tidak pernah diragukan lagi. Nabi menjamin bahwa orang yang berjuang dalam rangka menuntut ilmu akan diberikan banyak kemudahan oleh Tuhan menuju surga.
Para pengikut atau murid Nabi telah berhasil meneruskan dan menerapkan ajaran tentang semangat menuntut dan mencari ilmu. Motivasi religius ini juga bisa ditemukan dalam tradisi Rihla. Suatu tradisi ulama yang disebut al – rihla fi talab al – ‘ilm ‘ Suatu perjalanan dalam rangka mencari ilmu adalah bukti sedemikian besarnya rasa keingintahuan dikalangan para ulama.
Rihla, tidak hanya merupakan tradisi ulama, tapi juga merupakan kebutuhan untuk menuntut ilmu dan mencari ilmu yang didorong oleh nilai – nilai religius. Hadits – hadits Nabi mebuktikan suatu hubungan tertentu :” Seseorang yang pergi mencari ilmu dijalan Allah hingga ia kembali, ia memeperoleh pahala seperti orang yang berperang menegakkan agama. Para malaikat membentangkan sayap kepadanya dan semua makhluk berdoa untuknya termasuk ikan dan air”.
Islam secara mutlaq mendorong para pengikutnya untuk menuntut ilmu sejauh mungkin, bahkan sampai ke negeri Cina. Nabi menyatakan bahwa jauhnya letak suatu Negara tidaklah menjadi masalah, sebagai ilustrasi unik terhadap kemuliaan nilai ilmu pengetahuan. Siapaun sepakat hadits Nabi yang berbunyi Utlub al ‘ilm walau kana bi al – shin, menekankan betapa pentingnya mencari ilmu lebih – lebih ilmu agama yang dikategorikan Imam Ghozali sebagai fardlu ‘ain.
Syekh Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata “Diwajibkan kepada tiap mukallaf mengetahui perintah-perintah Allah sehingga ia mengetahui perintah-Nya supaya beriman kepada-Nya dan perintah yg berkaitan dgn ilmunya sehingga ketika ia diwajibkan mengeluarkan zakat ia wajib mempelajari ilmu tentang zakat jika ia diwajibkan melaksanakan haji ia wajib pula mempelajari ilmu tentang haji dan demikian seterusnya. Kemudian diwajibkan pula kepada seluruh umat pada umumnya mengetahui semua ajaran yg dibawa oleh Rasulullah saw supaya ilmu yg disampaikan beliau tidak hilang dari umatnya yaitu segala sesuatu yg telah disyaratkan Alquran dan sunnah. Akn tetapi kadar yg lbh atas kebutuhan yg diperlukan oleh orang-orang tertentu merupakan fardhu kifayah kewajiban yg gugur atas orang lain apabila ada sebagian orang yg telah melaksanakannya.”

PENDIDIKAN ISLAM DAN PERUBAHAN SOSIAL

PENDIDIKAN ISLAM DAN PERUBAHAN SOSIAL





MAKALAH
Disusun guna memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah Ilmu Pendidikan Islam
Dosen Pengampu:
Disusun oleh :
Akhmad Fauzan (072331005)



Tarbiyah/ Smester IV
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PURWOKERTO
TAHUN 2009


A. PENDAHULUAN

Usaha pendidikan yang sudah berjalan sekian abad di Indonesia pasti membutuhkan peninjauan kembali untuk mengadakan penyesuaian pada tuntutan baru sejalan dengan perkembangan budaya bangsa. Memperbaharui tujuan strategis dari pendidikan Islam, yaitu tujuan yang menciptakan manusia beriman yang meyakini suatu kebenaran dan berusaha membuktikkan kebenaran tersebut melalui akal, rasa, feeling, dan kemampuan untuk melaksanakannya melalu amal yang tepat dan benar atau disebut amal saleh yang bearti baik atau pengetahuan benar yang membentuk sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari.
Secara umum pendidikan Islam bertujuan untuk membentuk akhlak yang baik, dalam hal ini akan sangat terlihat bagaiamana perubahan sikap yang akan ditumbuhkan, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk kehidupan disekitarnya. Apakah pendidikan Islam mampu merubah tatanan sosial menjadi lebih baik, dimana kondisi saat ini yang sudah memasuki kehidupan serba modern? Harusnya hal ini menjadi sorotan yang utama, bagaimana fungsi lembaga-lembaga pendidikan dalam mendidik anak didiknya menuju perubahan sosial yang baik dengan tidak meningggalkan budaya-budaya kemodernan.
Pembentukan sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari, dapat di tandai dengan karaktristik pendidikan, yaitu tidak hanya mengajarkan atau mentransformasikan ilmu dan keterampilan serta kepekaan rasa (budaya) dan atau agama, melainkan pendidikan seyogianya memberi perlengkapan kepada anak didik untuk memcahkan masalah yang sudah tampak sekarang maupun yang akan tampak di masa akan datang. Dalam makalah ini akan sedikit disinggung bagaiman peran pendidikan Islam dalam mengawal perubahan sosial yang lebih baik seiring makin pesatnya kemajuan budaya dan tekhnologi serta kemoderenan yang lainnya sert5a kajian ulang tentang pondok pesantren sebagai basis yang akan menciptakan kader-kader yang berkualitas. Untuk lebih lanjut simak pada bab pembahasan.





B. PEMBAHASAN

1) Pola Dasar Pendidikan Islam
Pendiikan Islam yang dilaksanakan dalam suatu system memberikan kemungkinan berprosesnya bagian-bagian menuju ke arah tujuan yang ditetapkan sesuai ajaran Islam. Jalannya proses itu baru bersifat konsisten dan konstan (tetap) bilamana dilandasi dengan pola dasar pendidikan yang mampu menjamin terwujudnya tujuan pendidikan Islam. Dengan demikian suatu system pendidikan Islam harus berkembang dari pola dasarnya yang akan membentuknya menjadi pendidikan yang bercorak dan berwatak serta berjiwa Islam. Sifat konsisten dan konstan dari proses pendidikan tersebut tidak akan keluar dari pola dasarnya sehingga resultat (hasilnya) juga sama sebangun dengan pola dasar tersebut.
Meletakan pola dasar pendidikan Islam berarati harus meletakan nilai-nilai dasar agama yang memberikan ruang lingkup berkembangnya proses kependiidkan Islam dalam rangka mencapai tujuan. Bukannya nilai-nilai dasar yang dibentuk itu mempunyai kecenderungan untuk menghambat atau menghalangi berkembangnya proses tersebut.

2) Pengertian Perubahahn Sosial Dan Budaya
Para ahli sosiologi pernah mengklasifikasikan masyarakat menjadi masyarakata yang statis dan dinamis. Masyarakat statis merupakan masyarakat yang sedikit sekali mengalami perubahan dan perubahan pun berjalan lambat. Adapun masyarakat dinamis merupakan masyarakat ysng mengalami berbagai perubahan secara cepat. Oleh karena itu, pada masa tertentu, suatu masyarakat dapat dianggap sebagai masyarakat yang ststis sedangkan masyarakat lainnya dianggap sebagai masyarakat yang dinamis.
Segala perubahan yang terjadi tidak terlalu berarti kemajuan (progress) namun dapat pula mengalami kemunduran (ingress). Saat ini ketika tekhnologi komnunikasi semakin modern, tekhnologi banyak mempengaruhi perubahan sosial. Informasi semakin lama semakin mudah didapat dan komunikasipun menjadi lebih mudah dilakukan. Penemuan-penemuan tekhnologi yang terjadi di suatu tempat dapat dengan dengan cepat diketahui oleh masyarakat yang lain yang jauh dari tempat tersebut. William F. Okburn tidak memberikan pengertian konkrit, apa itu perubahan sosial. Menurutnya perubahan sosial mencakup unsur kebudayaan, baik yang materil maupun yang immaterial, terutama menekankan pengaruh yang besar dari unsur-unsur kebudayaan materil terhadap kabudayaan immaterial.
Sementara itu, Bassam Tibi menyatakan bahwa pola budaya bukan merupakan refleksi dari perubahan sosial yang telah terjadi, namun pola-pola budaya itu mampui membentuk prubaha soisal, walaupun pada saat yang sama, pola-pola budaya itu merupakan produk dari perubahan sosial itu.
Pandangan dunia, budaya dari manusia dapat, tetapi harus berubah secara bersisian dengan perubahan struktur sosial. Sisitem sosiokultural ternyata resisten terhadap perubahan. Peran hukum dalam Islam menjadi contoh utama untuk kasus ini, salah satu prinsip dasar system agama islam adalah bahwa sisitem itu tidak akan berubah, dan sisitem itu tidak boleh berubah, karena system ini mengaskan risalah atau kebenaran yang definitive dan terakhir untuk seluruh umat manusia.

3) Impelmentasi Pendidikan Islam Dalam Kehidupan pribadi dan Sosial
a) Perilaku manusia yang berhubngan dengan Allah
 Bersyukur
Yaitu, manusia mengungkapkan rasa syukur kepada Allah atas nikmat yang telah diperoleh-Nya. Ungkapan syukur dimaksud, tampak melalu perkataan dan perbuatan.
 Bertasbih
Yaitu manusia menyucikan Allah dengan ucapan
 Beristigfar
Yaitu,manusia meminta ampun kepada Allah atas segala dosa yang telah diperbuatnya.
b) Perilaku manusia yang berhubungan dengan sesamanya
 Perilaku yang berhubungan dengan diri
Perilaku yang berhubungan dengan individu manusia adalah seperangkat norma hukum yang dibuat oleh Allah SWT (Pencipta) yang diperuntukan kepada mahluk manusia.
 Perilaku yang berhubungan denga keluarga
Perilaku yang berhubungan dengan keluarga dapat diketahui dan dipahami bahwa ikatan hubungan keluarga di dalam ajaran Islam diatur oleh Allah SWT dalam bentuk system kekerabatan dan perkawinan dalam hukum Islam.
 Perilaku yang berhubungan dengan masyarakat
Perilaku yang berhubungan dengan masyarakat antara lain: ukhuawh/persaudaraan, ta’awun/tolong-menolong, adil, pemurazh, pemaaf, menepati janji, berwasiat di dalam kebenaran.
4) Pesantren Dalam Dinamika Perubahan Sosial
Jika menelusuri kondisi pesantren dengan semakin banyak dan kompleks varian dan dinamikanya baik secara fisik kultur, pendidikan maupun keseimbangannya maka pesantren secara istilah (epistemologis) sesungguhnya tidaklah sesederhana seperti yang teridentifikasi dengan adanya kiyai, santri, maupun masjid, karena konsepsi dasar dari katgori kiyai dan santri sampai sejauh ini masih bersifat multi interpretable selain itu kategorisasi yang tidak didasarkan pada hakikat instrinstik dari suatu objek merupakan suatu tindakan simplitikatif, reduktif, bahkan distortif, maka dalam wacana feminologi, pesantren sesungguhnya suatu lembaga atau instusi pendidikan yang berorientasi pada pembentukan manusia yang memiliki moralitas keagamaan Islam dan sosial uang diakutalisasikan dalam system pendidikan dan pengajarannya.
Akibat makin meningkatnya kemajuan tekhnologi dan kehidupan maka pesantren perlu melakukan representasi pada misi dan visi pendidikannya, sehingga pergerakan pesantren lebih membumi. Meskipun secara kultural memiliki konsep aksiologi ilmu dan kaya dengan berbagai khazanah ilmu, tetapi pesantren memiliki kelemahan yang sangat mendasar dalam metodologi. Dengan kelemahan itu pesantren tidak mampu menjelaskan semua potensi yang dimilikinya bagi perkembangan masyarakat. Pesantren akan tetap terkurung dalam orbitnya sendiri, sehingga tidak mampu mengantisipasi perubahan sosial. Karena itu, dalam rangka mempertegas visinya, pesantren perlu disuplai sejumlah pakar atau ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu.
Lalu apakah pesaantren saat ini telah mempunyai peran signifikan seperti yang pernah dimilikinya pada era penjajahan? Persoalan krusial yang dihadapi saat ini adalah lemahnya integritas moral, baik di tingkat menengah maupun bawah. Indikator dalam problem ini terlihat dari budaya korupsi, maraknya tayangan pornografi di televisi, majalah, Koran dan media cetak yang lainnya. Saat ini pesantren justru lebih terjebak dalam perjuangan kepentingan yang bersifat pragmatis, oportunis, terutama saat-saat menjelang pemilu. Pesantren saat ini ibarat kapal yang berlayar di tengah gelombang laut dengan tanpa tujuan, ia akan beralayar menuju ke tempat yang diinginkan oleh nahkodanya.
Ditengah arus perubahan tata nilai, pesantren tampak meimiliki sense of crisis sama sekali, maka tidak mengherankan jika fungsi pesantren saat ini secara factual sudah tergantikan olehn lembaga/institusi yang lahir dari kalangan akademisi/kampus, maka dari itu pesantren perlu melakukan reorienrtasi gerak pengajaran dan pendidikan serta perlu mengkaji pendekata baru dalam system pendidikannnya. Untuk itu harus dirumuskan system pendidikan yang bisa melahirkan manusia yang memiliki kemampuan untuk memilih diantara keragaman-keragaman budaya. Pilihan terhadap suatu budaya, di tengah keragaman itu, yang didasarkan pada karakteristik suatu masyarakat tertentu akan menentukan visi dan masa depan masyarakat bersangkutan. Visi pesantren di masa depan sangat ditentukan oleh kemampuan para kiai untuk memilih system budaya yang sesuai dengan karakteristik dan pandangan dunia masyarakat pesantren.
Kecuali itu, pendidikan diharapkan mampu melahirkan ilmuwan-ilmuwan muslim yang kritis dan fungsional bagi proses pemberdayaan masyarakat, bukan hanya ilmuwan yang berkutat dengan persoalan pragmatis belaka, tetapi juga yang concern alternative pembangunan yang relevan dengan latar belakang sosial budaya masyarakat Indonesia. Muhamad syahrur dan Nurcholis madjid merumuskannnya sebagai berikut:
a) Religiusitas (religiousity), bukan religion = agama sebagai orientasi gerak pesantren rasa keberagaman bukanlah agama. Agama lebih bersifat personal.menurut Nurcholis Madjid termanifestasi dalam tasawuf. Celakanya justru aspek yang merupakan inti dari kurikulum keagamaan inilah yang cenderung terabaikan dan hanya dikaji sambil lalu. Religiusitas dapat di peroleh melalui dua cara, pertama melalui kajian yang serius terhadap tasawuf, kedua pembentukan milliu/lingkungan yang representative bagi pengembangan potensi rasa keberagaman. Pengkajian dan penghayatan terhadap dimensi spiritualitas inilah yang kelak akan menghasilkan generasi-generasi yang peka terhadap aspek moralitas. Pesantren juga perlu memberikan kesadaran baru bagi para santrinya bahwa keberagaman merupakan proses yang tidak pernah berakhir.
b) Utilitas (utility/kebutuhan/fungsional) sebagai pendekatan dalam kurikulum pendidikan. Menurut Muhammad syahrur, sebuah ironi dalam sebuah pendidikan umat islam sekarang adalah in-efesiensi dalam sistem dan pendekatan terhadap kajian-kajian keilmuan Islam klasik. Hampir disetiap lembaga pendidikan Islam tradisional (pesantren) terjadi pembahasan yang terlalu detail dan rumit terhadap bentuk-bentuk ritual keagamaan yang menurutnya bisa dijelaskan secara sederhana dan dalam periode waktu yang tidak terlalu lama.
Pendalaman yang terlalu njlimet terhadap persoalan-persoalan tersebut tidak banyak memberikan nilai positif serta tidak praktis. Apa yang dinyatakan oleh syahrur sejalan dengan keraguan Nurcholis Madjid yang mempertanyakan apakah pengetahuan dan keahlian dalam suatu bidang, fiqih misalnya secara keseluruhan relevan dengan keadaan sekarang. Maka kajian keilmuan di pesantren mestinya dilakukan dari sudut pandang persoalan apa yang benar-benar bermanfaat secara amaliah/praktis bagi santri dimasa depan. Dengan bepijak pada pendekatan ini maka pengajaran/pembelajaran tentang materi-materi keilmuan di pesantren yang meliputi fiqih, aqidah dan lainnya harus ditinjau ulang dan dirumuskan kembali dengan menggunakan azaz nilai manfaat praktis dan pragmatis santri dimasa depan.




C. KESIMPULAN

Sebagaimana uraian diatas keterkaitan dengan pendidikan Islam yang dalam hal ini dikaitkan dengan adanya perubahan sosial pada saat ini maka dapat kami simpulkan bahwa pendidikan Islam pada saat ini mempunyai tantangan yang sangat besar. Makin berkembanganya ilmu pengetahuan dan tekhnologi serta dengan meluasnya arus globalisasi menjadi factor utama penyebab kemerosotan moral, hal ini dapat tergambarkan dengan makin banyaknya orang yang korupsi, beredarnya situs-situs porno, tindakan-tindakan kejahatan, asusila, serta budaya-budaya yang sudah jauh dari nilai-nilai Islam. Terlepas dari itu juga masyarakat muslim Indonesia masih sangat tertinggal jauh dari era modernisasi.
Peran lembaga pendidikan Islam baik formal maupun non formal sangat diharapkan sekali mempunyai metodologi yang tepat dalam menghadapi arus perubahan sosial. Dalam hal ini pondok pesantren yang menjadi pembahasan di sini tersorot masih banyak yang bersifat tradisional sekali, Sehingga out put yang dihasilkan masih kurang sesuai untuk menghadapi zaman seperti sekarang ini.
Keresahan ini juga pernah diutarakan oleh Muhammada Shahrur dan Nurcholis Madjid peran pesantren saat ini harus bisa mengimbangi adanya perubahan sosial yang sudah serba modern. Metodologi yang digunakan perlu ada reorientasi yang pasti, diantaranya dengan lebih memper dalam agama sebagai kajian spiritulitas serta kajian-kajian tentang keilmuan yang menjurus pada fungsionlitas. Berarati disini ada dua term yang penting yaitu kajian agama sebagai spiritualitas dan kajian agama sebagai fungsionalitas. Semoga Allah meberikan petunjuk yang benar bagi kita semua, Maha Suci Allah atas segala kekuasaanya.








DAFTAR PSTAKA

H. M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta 1993
Zaenudin Ati, Pendidikan Agama Islam, Bumi Aksara, Jakarta 2007
Masthuhu, Memperdayakan Sistem Pendidikan Islam, PT. LOGOS Wacana Ilmu, Jakarta 1999
www. blogspot. Com.
Bassam Tibi, Islam Kebudayaan dan Perubahan Sosial PT. Tiara Wacana, Yogyaakarta 1999
Karel. A. Stenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah Pendidikan Islam Dalam Kurun Modern, LP3S, Jakarta, 1994
Yasmadi, Modernisasi Pesantren, Ciputat Press, Jakarta 2002Muh. Syahrur, Al-Kitab Wa Al-Qur’an, Qiroah Mu’ashirah, Dar Al-Ahali, Damaskus, 1990
Muh. Syahrur, Al-Kitab Wa Al-Qur’an, Qiroah Mu’ashirah, Dar Al-Ahali, Damaskus, 1990
Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, Paramadina, Jakarta, 1997

Pendidikan IPTEK Dalam Masyarakat Islam

Pendidikan IPTEK Dalam Masyarakat Islam
Oleh: Akhmad Fauzan

A. Konsep Pengetahuan, Tekhnologi dan Seni (IPTEKS)
Ilmu adalah pengetahuan yang sudah diklasifikasi, diorganisasi, disistematisasi, dan diinterpretasi, menghsilkan kebenaran obyektif, sudah diuji kebenarannya, dan dapat diuji ulang secara ilmiah.
Secara etimologi, kata ilmu berarti kejelasan. Olehnkarena itu, kata ilmu dengan segala akarkata dan bentuknya mempunyai cirri kejelasan. Hal ini termuat 854 kali di dalam alqur’an. Kata dimaksud, digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan.
Tekhnologi merupakan salah satu budaya dari hasil penerapan praktis ilmu pengetahuan. Tekhnologi disatu aspek dapat membawa dampak positif berupa kemajuan dan kesejahterahan bagi manusia, tekhnologi pada aspekmlainnya dapat membawa dampak negatife berupa ketimpangan dalam kehidupan. Oleh karena itu, tekhnologi dapat dianggap bersifatnetral. Hal ini berarti tekhnologi dapat digunakan manusia ujtuk mencapaimkemasahatan dan untu menghancurkan manusia itu sendiri. Adapun seni merupakan merupakan bagian dari budaya manusia, berarti hasil ungkapan akal dan budi manusia dengan segala prosesnya. Selain itu, seni adalah hasil ekspres jiwa yang berkembang menjadi bagian dari budaya bnagsa.

B. Era Iptek
Pada era ilmu pengetahuan dan tekhnologi (IPTEK) sekarang ini, masyarakat Islam ditutut untuk melakukan antisipasi baik dalam pemikian (konsep) maupun tindakan. Kesiapan dunia pendidikan Islam dalam memasuki tahap ini banyak tergantung pada kejeliandan antisipasi yang dilakukan, termasuk kejelian dalam mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi.
Pendidikan Islam yang tugas pokonya menelaahdanmenganalisis sertta mengembangkan pemikiran,informasi dan fakta-fakta keendidikan, dituntut harus mampu mengetahkan perencanaan program-program dan aktivitas-aktivitas operasional pndidikan terutama yang berkaitan dengan pengembangan dan pemanfaatan IPTEK. Strategi pendidikan Islam dalammenghadapi tantangan dalam menghadapi kemajuan IPTEK antara lain:
1. Memotivasi kreativitas anak didik kearah pengembangan IPTEK dimana nilai-nilai Islam menjadi acuannya.
2. Mendidik keterampilan, memanfaatkan produk IPTEK bagi kesejahterahan hidup, manusia pada umunya dan umat Islam khususnya.
3. Mencoptakan jalinan yang kuat antara IPTEK dan ajaran agama.
Pada akhirnya strategi pendidiakan Islam dalam mengantisipasi kemajuan IPTEK modern, adalah terletak pada kemampuan mengkonfigurasikan sistem nilai Islami yang akomodatif terhadap aspirasi umat Islam.

C. Dampak Kemajuan IPTEK
Kemajuan IPTEK dapat membawa kemanfaatan bagi umat manusia dalam dunia pendidikan antara lain untuk pembelajara jarak jauh, menungkatkan motifasi perbaikan cara pembelajaran, penelusuran informasi pembelajaran dengan bantuan computer, mengelola administrasi.
Adapun dampak negative tekhnologi itu antara lain munculnya kemerosotan moral, perubahan nilai kejahatan dan tindakan criminal, dampak sosial, ekonomi dan dampak dalam bidang pendidikan artara lain menurunnya motivasi dan prestasi belajar, berkurangnya jam belajar dan berain atau sosialisasi anak, timbulnya rasa malas belajar, malas membaca, dan tugas lainnya karena lebih senang menonton TV berbagai acara hiburan,
Adapun bagi pendidikan Islam dampak tekhnologi telah mulai menampakan diri yang ada prnsipnya berkekuatan melemahnya daya mental spiritual. Suasana permasalahan baru yang dampaknya harus dipecahkan oleh pendidikan Islam pada khususnya antara lain dehumanisasi dan heteralisasi nlai-nilai agama. Teradinya pembenturan antara nilai-nilai sekuler dan nilai-nilai absolitisme dari Tuhan akibat rentangnya pola pikir manusia tekhnologis yang bersifat pragmatis. Pendidika Islam harus mampu membuktikan kemampuannya untuk mengendalikan dan menangkal dampak negative dari IPTEK terhadap nilai-nilai etika keagamaan Islam serta nilai-nilai moral dalam kehidupan individu dan sosial.
D. Pemahaman masyarakat tentang IPTEK
Komunikasi IPTEK
Pada abad ke-17, Robert Boyle adalah salah satu ilmuwan pertama yang melakukan percobaan ilmiah untuk menguji hipotesisnya. Dia berasumsi bahwa masyarakat akan mempercayai suatu penemuan ilmiah baru apabila penemuan tersebut dapat divisualisasikan kepada masyarakat. Boyle kemudian mengundang beberapa orang ke laboratoriumnya dan menjelaskan penemuan ilmiahnya. Boyle meyakini bahwa sebuah percobaan ilmiah dapat sahih apabila masyarakat mempercayai apa yang mereka lihat, dan mereka dapat menguji hipotesis dan metodologi yang digunakan pada eksperimen ilmiah. Boyle juga berasumsi bahwa percobaan ilmiah yang dipresentasikan secara visual menghasilkan pengetahuan baru tidak hanya kepada yang menyaksikan, namun juga kepada lingkungan sosial yang lebih luas.
Komunikasi IPTEK terhadap masyarakat dan pemahaman masyarakat terhadap IPTEK merupakan subyek riset yang relatif baru di lingkungan akademis, namun berkembang untuk dipelajari lebih lanjut untuk mendukung proses pengambilan kebijakan publik. Pemahaman yang baik terhadap dinamika kompleksitas IPTEK dan interaksi IPTEK dengan masyarakat, berguna dalam peningkatan aksesibilitas masyarakat terhadap IPTEK dan akhirnya berkembang menjadi suatu sistem pengelolaan dan kontrol sosial masyarakat terhadap IPTEK. Beberapa istilah telah digunakan dalam pendefinisian komunikasi IPTEK antara lain: pemahaman publik terhadap IPTEK, kesadaran publik terhadap IPTEK, dan difusi sosial terhadap IPTEK.
Sejalan dengan waktu, tujuan utama komunikasi IPTEK berkaitan dengan tiga aspek utama. Pertama, aspek politik. Hasil akhir suatu inovasi IPTEK mempunyai spesifikasi tersendiri di dalamnya, yaitu terminologi, institusi, sistem verifikasi, dsb. Spesifikasi tersebut akhirnya membangun sebuah pembatas tidak terlihat antara IPTEK dengan masyarakat. Komunikasi IPTEK bertujuan untuk mencapai suatu keterkaitan antara masyarakat dengan IPTEK. Aspek kedua adalah aspek kognitif. Dalam komunikasi IPTEK, perangkat komunikasi atau penyampai informasi yang digunakan akan disesuaikan untuk menciptakan jaminan terjadinya pemahaman dan penerimaan masyarakat awam terhadap IPTEK.
Sedangkan aspek ketiga adalah aspek kreativitas, yang membantu perkembangan kecerdasan dan kapabilitas masyarakat sehingga menghasilkan kemampuan dalam mengintegrasikan IPTEK ke kehidupan sehari-hari. IPTEK memainkan peran penting sebagai sebuah agen pembaharu di masyarakat. Sebagai bangsa yang bergerak ke arah ekonomi berbasis pengetahuan, dibandingkan ekonomi berbasis sumber daya alam sesuai dengan paradigma tekno-ekonomi, IPTEK menjadi landasan keberhasilan pembangunan ekonomi yang didukung oleh kapasitas dan kapabilitas sumber daya manusia yang kompetitif. Kekuatan bangsa diukur dari kemampuan IPTEK sebagai faktor primer ekonomi menggantikan modal, lahan dan energi untuk peningkatan daya saing. UU No. 18 Tahun 2002.
Tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan IPTEK mengamanatkan tanggung jawab penelitian bukan lagi monopoli pemerintah, tapi juga menuntut peran serta masyarakat. Sehingga, masyarakat pada akhirnya dituntut mempunyai wawasan memadai untuk memahami IPTEK. IPTEK akan berkembang secara cepat dan diskusi mengenai isu-isu yang timbul dari perkembangan tersebut sangat penting. Beberapa negara di belahan benua eropa telah mengalami berbagai tantangan dalam menangani isu-isu kontroversial, contohnya: rekayasa genetika. Negara-negara tersebut memperoleh pelajaran berharga dalam usahanya untuk memperkenalkan dan melibatkan masyarakat umum terhadap IPTEK.
Masyarakat dengan tingkat pendidikan lebih tinggi akan berargumen bahwa IPTEK sangat esensial untuk masyarakat yang berpendidikan lebih rendah.
Dalam masyarakat yang dinamis, sikap dan pandangan lebih penting daripada proses penerimaan suatu informasi bernuansa IPTEK. Individu di dalam suatu komunitas masyarakat akan bersikap atau bereaksi terhadap suatu situasi dan kondisi sosial tergantung segi kualitas materi informasi IPTEK. Sehingga strategi komunikasi IPTEK mempunyai ruang lingkup lebih luas dan mencakup aspek interaksi antara masyarakat dengan IPTEK. Studi mengenai pendekatan dan indikator pemahaman masyarakat tentang IPTEK umumnya terdiri tiga unsur pokok yang saling berkaitan antara satu sama lain: ketertarikan, pengetahuan, dan perilaku.
Indikator unsur ketertarikan bertujuan untuk mengukur hubungan masyarakat dengan perkembangan IPTEK. Indikator pengetahuan bertujuan untuk mengukur tingkatan pemahaman masyarakat terhadap perkembangan IPTEK. Indikator ini berkaitan dengan hubungan antara IPTEK dan media massa yang juga mengukur derajat keberhasilan komunikasi IPTEK terhadap masyarakat dan mengetahui sumber informasi yang paling sering digunakan masyarakat untuk mendapatkan informasi IPTEK, seperti TV, radio, koran, majalah, internet, museum, dll. Sedangkan indikator perilaku mencakup perilaku dan penerimaan masyarakat terhadap proses pendanaan suatu inovasi IPTEK serta presepsi masyarakat terhadap keuntungan dan resiko penerapan inovasi IPTEK tersebut. Namun studi-studi tersebut menghadapi kendala bagaimana mendesain langkah evaluasi dan interpretasi presepsi dan pemahaman masyarakat terhadap IPTEK, atau umumnya disebut budaya IPTEK. Terdapat beberapa model pendekatan yang berkembang untuk memahami presepsi dan pemahaman masyarakat terhadap IPTEK.
Model komunikasi IPTEK yang berkembang s.d. saat ini dikenal sebagai ”model difusi linier” atau juga dikenal sebagai ”model defisit”. yang merupakan ciri khas masyarakat Anglo-Saxon dalam mempelajari komunikasi IPTEK. Model defisit berlandaskan hipotesis bahwa pengetahuan bernuansa IPTEK mempunyai parameter yang dapat mengukur seberapa banyak suatu informasi IPTEK dapat diserap oleh setiap individu. Model defisit juga mengasumsikan bahwa masyarakat adalah peserta pasif yang mempunyai knowledge gap dan sepatutnya diisi dengan informasi IPTEK.
Model ini merupakan top-down model dimana pengetahuan ilmiah hanya berjalan satu arah, dari ilmuwan kepada masyarakat. Dengan demikian model ini merupakan model linier seperti yang biasa digunakan di masa lampau untuk menganalisa kemajuan IPTEK. Model defisit hanya dapat menjelaskan secara parsial kompleksitas pemahaman dan presepsi masyarakat terhadap IPTEK. Sehingga terdapat terdapat beberapa kelemahan subtansial, antara lain:
Dengan memperlakukan masyarakat mempunyai respon pasif dalam pemahaman dan presepsi terhadap IPTEK, model defisit tidak dapat memberikan motivasi atau pengertian aktif-konstruktif dalam pengolahan informasi IPTEK terhadap masyarakat
Model defisit tidak memperlakukan budaya IPTEK sebagai suatu proses dinamis dan sosial tapi lebih menekankan pada karakteristik individu penerima pengetahuan IPTEK. Bertolak belakang terhadap kenyataan bahwa pemahaman masyarakat terhadap IPTEK bergantung kepada konteks sosial dimana informasi IPTEK menjadi lebih operasional.
Model defisit juga memperlakukan komunikasi IPTEK hanya sebagai alur komunikasi satu arah namun tidak memperhitungkan proses timbal balik yang dinamis.
Model defisit mendapat kritik dalam beberapa dekade belakangan. Sehingga, terdapat beberapa alternatif model pendekatan yang berkembang untuk melengkapi kekurangan model defisit, antara lain: Model kontekstual. Model ini sering digunakan dalam studi respon dan presepsi masyarakat terhadap resiko IPTEK, yang menekankan bahwa individu penerima informasi IPTEK bukan sebagai entitas pasif. Namun individu tersebut melakukan proses reinterpretasi dalam konteks budaya dan nilai yang berkembang di sekitarnya. Lay expertise model. Model ini mengedepankan peran kearifan lokal dan adat istiadat masyarakat yang beragam dalam interpretasi dan mendayagunakan informasi IPTEK.
Model ini melihat bahwa ketidakmampuan masyarakat untuk memahami IPTEK disebabkan oleh wawasan dan pengertian yang berkembang di masyarakat akibat pengaruh budaya dan adat, daripada menyalahkan masyarakat secara langsung. Sehingga proses komunikasi IPTEK tidak hanya memberikan informasi IPTEK semata, namun lebih membangun pemikiran kritis yang memungkinkan masyarakat untuk mengevaluasi perkembangan IPTEK sesuai dengan relevansi sosial.
4. Budaya IPTEK
Ketika berbicara budaya IPTEK, terdapat tiga kemungkinan struktur linguistik dalam pengungkapannya, antara lain:
Budaya IPTEK. Terdapat dua kemungkinan,
o Budaya yang diciptakan oleh IPTEK
o Budaya IPTEK itu sendiri
Budaya melalui IPTEK. Terdapat dua kemungkinan,
o Budaya dengan cara IPTEK
o Budaya yang menyokong IPTEK
Budaya untuk iptek. Terdapat dua kemungkinan,
o Budaya yang digerakkan untuk produksi IPTEK
o Budaya yang digerakkan untuk sosialisasi IPTEK
Pada Poin Terakhir Juga Terdapat Dua Kemungkinan,
o Difusi ilmiah dan pendidikan ilmuwan
o Bagian pendidikan yang tidak terkandung pada difusi ilmiah dan pendidikan ilmuwan. Contoh: sistem belajar-mengajar sekolah menengah, pendidikan sarjana, dan pendidikan untuk umum.
Perbedaan tersebut di atas tidak mencakup keseluruhan interaksi yang mungkin terjadi antara masyarakat dengan topik IPTEK dalam suatu sistem kemasyarakatan, namun perbedaan tersebut dapat memberikan kontribusi terhadap pemahaman yang jelas terhadap kompleksitas semantik yang terlibat dalam pengungkapan budaya IPTEK dan fenomena yang disebut sebagai ”masyarakat ilmiah”. Budaya IPTEK sebagai suatu proses dinamis dapat dijelaskan sebagai apa yang disebut dengan spiral budaya IPTEK. Sumbu horisontal menunjukkan waktu dan sumbu vertikal menunjukkan spasial, serta kategori masing-masing kuadran yang berjalan dinamis, searah jarum jam.
E. Strategi pembangunan pendidikan agama (Islam) dalam upaya mengantisipasi perkembangan IPTEK
Dalam menghadapi berbagai tanntangan dan dampak IPTEK, Pendidikan Islam harus memiliki berbagai strategi sebab Agama harus bisa menjawab tantangan yang relative dekat dihadapan kita. Dalam hal ini urusan dunia selain berhubungan dengan persoalan keakhiratan, jadi harus di jawab sejauh mana dengan Agama kini bisa menjawab tantangan kemajuan itu. IPTEK harus di puaskan tetapi kini tidak boleh di tinggalkan sehingga bisa membentuk sumberdaya manusia yang handal.
Chabib Thoha menyebutkan adanya dua strategi pendidikan Islam dalam menghadapi berbagai tantangan dan dampak IPTEK tersebut. Yaitu strategi global dan strategi-strategi global mempunyai dua pendekatan yaitu pendekatan sistematik dan proses adapun strategi sektoral, strategi ini bersifat temporal dan kondisional berdasarkan dua strategi pendidikan Islam diatas maka di ketahui dengan pasti dan jelas dimana letak keberadaan IPTEK.

A. KESIMPULAN
Pada akhirnya pendidikan IPTEK merupakan sebuah atribut tidak terpisahkan dalam suatu komunitas masyarakat. Karena penekanan utama komunikasi IPTEK adalah kepada proses bagaimana masyarakat dapat memahami IPTEK secara berkesinambungan, masyarakat perlu juga memahami bagaimana bentuk bahasa yang tepat dalam proses pengkomunikasian IPTEK oleh penyampai informasi kepada mereka.
Masyarakat melakukan interpretasi terhadap informasi IPTEK disesuaikan dengan pengaruh dari dalam diri setiap individu –tingkat pendidikan, tingkat ekonomi- dan pengaruh dari lingkungan -relevansi sosial dan struktur sosial- yang mempengaruhi seberapa cepat dan akurat informasi IPTEK dapat diterima sesuai dengan tujuannya. Sehingga diperlukan tahapan pengembangan mengenai bagaimana bentuk dan mekanisme komunikasi IPTEK terhadap masyarakat majemuk secara efektif dan efisien yang disesuaikan dengan kearifan lokal dan konteks budaya yang berkembang di masing-masing tatanan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Bauer, M. W., Bucchi, M., 2007. Journalism, science and society: science communication between news and public relations. Routledge, United Kingdom.
Lewenstein, B.V., 2003. Models of public communication of science and technology. Public Understanding of Science, Cornell University, New York.
Rao, C.N.R., 2008. Science and technology policies: The case of India. Technology in Society 30, pp.242– 247.
Rédey, S., 2006. Science for Public – the Dimension of Science Communication. Tudomany-Kommunikacio-Tarsadalom, pp. 75-81.
Servaes, J., 2008. Communication for Development and Social Change. Sage Publications, United States.
Zaenudin Ali, Pendidikan Agama Islam, PT. Bumi Aksara, Jakrata 2007.
Sukanto, Prospek dan Agenda Masalah Pendidikan-Pendidikan Dalam PJP II. Yogyakarta 1994.
Muzayyin Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta :2007) PT.Bumi Aksara.
Mansyur Isna, Diskursus Pendidikan Islam, jogjakarata, Global Pustaka.

PPSI

MODEL PENGAJARAN PPSI
(Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional)





MAKALAH

Makalah
Disusun dan Diajukan guna memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah : Desain Pembelajaran PAI Alternatif
Dosen Pengampu : Rohmat, M. Ag. M. Pd.



Disusun oleh :
Akhmad Fauzan (072331005)

Tarbiyah/ PAI-1/Smester VI

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PURWOKERTO
2009










BAB I
PENDAHULUAN
`

Pembelajaran bukanlah sesuatu yang terjadi secara kebetulan, melainkan adanya kemampuan dari guru yang memiliki dasar-dasar mengajar yang baik. Mengajar pada hakekatnya merupakan suatu kegiatan belajar, sehingga proses belajar mengajar dapat berlangsung secara efektif dan efisien. Adanya perubahan paradigma pembelajaran yang semula berpusat pada guru menjadi pembelajaran berpusat pada siswa, menuntut adanya perubahan unsur-unsur lain yang menunjang dalam pembelajaran tersebut, seperti adanya perubahan kurikulum.
Pembelajaran akan berhasil dengan baik apabila ada keberanian untuk mencari metode serta membangun paradigma baru. Hal ini diperlukan penerapan cara dan metode yang lain yang telah digunakan pada masa lampau. Suatu metode yang telah terbukti mampu mendatangkan hasil baik pada masa lampau belum tentu akan membawa hasil yang sama jika diterapkan di masa kini dan mendatang.
Dalam sejarah perjalanan kurikulum banyak sekali pola-pola pengajaran yang telah diterapkan di dalam dunia pendidikan kita. Dengan perubahan yang terjadi pada kurikulum, pola pengajaranpun turut serta mengiringi perubahan tersebut, baik dari segi pengguanaan nama atau perubahan pada strukturnya. Sebagai contoh ialah pola pengajaran PPSI (Prosedur Pengembangan Sistem Isstruksional). Dimana pola ini mulai diterapkan pada kurikulum 1975 yang pada saat itu kurikulumnya beracuan pada tujuan yang setiap komponen dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional.
Dalam makalah ini akan sedikit kami uraikan terkait dengan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI), mulai dari pengertian, komponen-komonen PPSI, langkah-langkah pokok dalam mengembangkan PPSI serta beberapa model dari PPSI. Semoga makalah yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.


BAB II
PEMBAHASAN

PPSI
(Prosedur Pengembangan Sistem Intruksional)
A. Pengertian
Pengertian sistem intruksional menunjukan pada pengertian pengajaran sebagai suatu sistem, yaitu sebagai suatu komponen yang terorganisir, yang terdiri dari sejumlah komponen-komponen yang saling berhubungan satu sama lain dalam rangka mencapai tujuan yang diinginkan. Sebagai suatu sisitem, pengajaran mengandung sejumah komponen antara lain materi pelajaran, metode, alat, evaluasi, yang kesemuanya itu berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan pengajaran yang telah ditentukan.
Dengan kata lain agar tujuan pengajaran itu dapat dicapai, semua komponen-komponen yang ada di dalamnya harus diorganisir sedemikian rupa sehingga mereka (komponen-komponen tersebut) dapat bekerjasama dengan harmonis. Karena itu dalam pengembangan suatu sistem pengajaran atau sistem intruksional, kita tidak boleh hanya memperhatikan komponen materi saja, atau metode saja, atau evaluasi saja, tanpa melihat pengajaran sebagai suatu keseluruhan, sebagai suatu sistem.
Pengertian sistem intruksional ini dapat ditetapkan dalam ruang lingkup yang luas seperti sistem pengajaran dalam sekolah pembangunan, tapi dapat pula dalam ruang lingkup yang lebih sempit, misalnya sistem dalam pengajaran IPA di SD.
Selain itu pengertian sistem berlaku juga untuk ruang lingkup yang sangat terbatas (disebut mycro-sistem), misalnya sistem dalam pengajaran mengenai suatu topik pelajaran tertentu, umpamanya mengenai: perang Diponegoro, berhitung pecahan, magnit dan listrik, jenis-jenis kalimat dalam bahasaa Indonesia, dan sebagainya. Pengertian sistem intruksional dalam ruang lingkup yang terakhir inilah yang akan dititik beratkan dalam materi program in-service training ini, di mana hal itu sangat sesuai (kena) dengan tugas pekerjaan para guru sehari-hari di kelas.
Dalam memberikan pengajaran mengenai suatu topik pelajaran tertentu kepada murid-muridnya, para guru dihadapkan pada sejumah persoalan, antara lain:
1. Tujuan apa yang ingin dicapai?
2. Materi-materi pelajaran apa yang perlu diberikan untuk mencapai tujuan di atas?
3. Metode/alat mana yang akan digunakan?
4. Bagaimana prosedur mengevaluasinya?
Prosedur dalam mengembangkan sistem intruksional mengenai suatu topik yang akan diajarkan itulah yang akan dibahas dalam materi in-service training ini (latihan jabatan), yang dipandang sangat berguna bagi para guru dalam melaksanakn tugas mengajarnya sehari-hari disekolah. (Engkoswara, 1984: 20-21)

B. Komponen-Komponen PPSI
PPSI adalah suatu pedoman yang disusun oleh guru dan berguna untuk menyusun satuan pelajaran, PPSI terdiri dari beberapa komponen, diantara komponen-komponen tersebut ialah sebagai berikut:
1. Pedoman perumusan tujuan, yang memberikan petunjuk bagi guru dalam merumuskan tujuan-tujuan khusus. Perumusan tujuan khusus itu berdasarkan pada pendalaman dan analisis terhadap pokok-pokok bahasan/subpokok bahasan yang telah digariskan untuk mencapai tujuan intruksional dan tujuan kurikuer dalam GBPP.
2. Pedoman prosedur pengembangan alat penilaian, yang memberikan petunjuk tentang prosedur penilaian yang akan ditempuh, tentang tes awal (pre test) dan tes akhir (post test), tentang jenis tes yang akan digunakan dan tentang rumusan soal-soal tes sebagau bagauan dari satuan pelajaran.
3. Pedoman proses kegiatan belajar siswa, merupakan petunjuk untuk menetapkan langkah-langkah kegiatan belajar siswa sesuai dengan bahan pelajaran yang harus dikuasai dan tujuan khusus intruksional yang harus dicapai oleh para siswa.
4. Pedoman program kegiatan guru, yang merupakan petunjuk-petunjuk bagi guru untuk merencanakan program kegiatan bimbingan sehingga para siswa melakukan kegiatan sesuai dengan rumusan TIK. Dalam hubungan ini guru perlu:
a. Merumuskan materi pelajaran secara terperinci
b. Memilih metode-metode yang tepat
c. Menyusun jadwal secara terperinci
5. Pedoman pelaksanaan program, yang merupakan petunjuk-petunjuk dari program yang telah disusun. Petunjuk-petunjuk ini berkenaan dengan dimulainya pelaksanaan tes awal dilanjutkan dengan penyajian/penyampaian materi pelajaran sampai pada dilaksanakannya penilaian hasil belajar. Tentu saja petunjuk itu bersifat luwes yang memungkunkan oerubahan dan perbaikan, dan peningkatan dari rencana semula.
6. Pedoman perbaikan atau revisi, yang merupakan engembangan program setelah selesai dilaksanakan. Perbaikan dilaksanakan berdasarkan hasil penilaian akhir. (Oemar Hamalik, 2002: 74-75)

C. Langkah-Langkah Pokok Di Dalam Mengembangkan Sistem Instruksional
Bila kita ingin mengajarkan suatu topik pelajaran kepada murid-murid, perlu ditempuh sejumlah langkah-langkah tertentu. Di bawah ini merupakan uraian secara garis besar langkah-langkah pokok dalam mengembangkan Sistem Instruksional, langkah-langkah pokok tersebut adalah sebagai berikut:


1. Merumuskan Tujuan-Tujuan Pengajaran (Intruksional) Yang Ingin Dicapai
Langkah pertama dalam proses pengembangan Sistem Intruksional mengenai topik yang akan kita ajarkan adalah merumuskan tujuan-tujuan intruksional yang ingin dicapai dalam pengajara tesebut. Dengan tujuan-tujuan intruksional di sini dimaksudkan adalah perumusan tentang tingkah laku atau kemampuan-kemampuan yang kita harapkan dapat dimiliki oleh murid-murid setelah ia mengikuti pelangajaran yang kita berikan.
Kemampuan-kemampuan yang kita harapkan itu dirumuskan secara “specific” atau khusus dan operasional sehingga nantinya dapat kita ukur (nilai). Dengan kata lain tujuan instruksional ialah tujuan-tujuan yang berisi jenis-jenis kemampuan/tingkah laku yang kita harapkan dimiliki oleh murid-murid, setelah mereka mempelajari suatu pelajaran. (Roestiyah N.K, 1990: 99)
Lebih jelasnya ada beberapa kriteria dalam merumuskan tujuan instruksional, yaitu:
a. Harus menggunakan istilah-istilah yang operasional (contoh istilah-istilah yang operasional: menuliskan, menyebutkan, memiliki, membedakan, memecahkan soal, membandingkan, menghitung, dll. Contoh istilah-istilah yang kurang operasional: memahami, menikmati, mengetahui, menghargai, mempercayai, meyakinkan, dsb).
b. Harus dalam bentuk hasil (product)
c. Harus berbentuk tingkah laku murid
d. Hanya meliputi satu jenis tingkah laku. (Roestiyah N.K, 1990: 106)
Di bawah ini diberikan contoh salah satu tujuan intruksional dalam pelajaran berhitung (diberikan sejumlah benda, tidak lebih dari 10 buah) “murid-murid dapat menyebutkan jumlah benda-benda tersebut dengan tepat. (Roestiyah N.K, 1990: 99)
Kemudian Ahli-ahli pengajaran pada umumnya sependapat bahwa cara yang tepat untuk melukiskan tujuan intruksional yaitu dengan merumuskannya dalam bentuk perilaku siswa yang dapat diamati, karena dengan demikian guru mempunyai ukuran yang jelas untuk menentukan mutu pengajarannya, namun juga ada sebagian yang tidak sependapat dengan itu. (W. James Popjom, Eva L Baker , 1981: 45)

2. Mengembangkan Alat Evaluasi
Setelah tujuan-tujuan intruksional kita rumuskan, maka langkah berikutnya adalah mengembangkan tes yang fungsinya adalah untuk menilai sampai dimana murid-murid telah meguasai kemampuan-kemampuan yang telah kita rumuskan dalam tujuan tersebut.
Berbeda dari apa yang biasanya kita lakukan, pengembangan alat evaluasi ini diabadikan tidak pada langkah-langkah terakhir, melainkan segera setelah tujuan-tujuan intruksional dirumuskan yaitu pada langkah kedua.
Hal ini didasarkan atas prinsip pengajaran yang berorientasi pada tujuan/hasil (output orientasi), yakni penilaian terhadap suatu Sistem Intruksional didasarkan atas hasil yang dapat dicapai. Hasil tersebut tergambar dalam perumusan tujuan-tujuan intruksional yang telah dikembangkan pada langkah pertama. Yang nantinya akan kita nilai.
Untuk mencek apakah perumusan tujuan-tujuan tersebut dapat dinilai (diukur) atau tidak, perlu kita kembangkan terlebih dulu alat evaluasi untuk menilai tujuan-tujuan tersebut sebelum kita melangkah lebih jauh. Dengan dikembangknannya alat evaluasi pada langkah kedua ini, mugkin ada beberapa tujuan yang perlu kita ubah atau dipertegas rumusannya, sehingga dapat diukur.
Inilah yang merupakan landasan pokok, mengapa pengembangan alat evaluasi dilakukan pada langkah-langkah permulaan dalam proses pengembangan Sistem Intruksional ini.

3. Menetapkan Kegiatan-Kegiatan Belajar Yang Perlu Ditempuh
Langkah ini bertujuan agar murid-murid dapat melakukan hal-hal yang telah dirumuskan tujua intruksional. Bila kita mengambil sebagai contoh tujuan pengajaran berhitung, maka yang akan kita lakukan di dalam langkah ketiga ini adalah menetapkan jenis kegiatan-kegiatan belajar yang perlu ditempuh murid-murid agar nantinya mereka dapat menghitung jumlah benda-benda yang tidak lebih dari 10. Kegiatan belajar yang perlu ditempuh tersebut antara lain belajar:
a. Mengenal bilangan 2 s/d 10
b. Menghitung 1 s/d 10 tanpa menggunakan benda.
c. Menghitung dengan menggunakan benda.

4. Merencanakan Program Kegiatan
Hal-hal pokok yang perlu ditetapkan dalam merencanakan program kegiatan adalah menetapkan isi (materi) pelajaran yang akan diberikan, metode alat apa yang akan dipakai dan jadwal pelajaran itu sendiri.
Materi pelajaran sangat erat hubungannya dengan kegiatan belajar yang perlu ditempuh murid-murid. Bila di dalam kegiatan belajar ditetapkan, bahwa murid-murid perlu mengenal bilangan 1 s/d 10, maka materi pelajaran adalah;
a. Nama-nama bilangan 2 s/d 10
b. Simbol dan lambang untuk masing-masing nama bilangan tersebut (1,2,3,4,5 dan seterusnya).
Bagaimana cara kita menyampaikan materi pelajaran itu kepada murid sangat bergantung pada kegiatan-kegiatan belajar yang akan ditempuh dan tujuan intruksional yang ingin dicapai.
Dalam contoh di atas, cara-cara tersebut akan meliputi ceramah (menerangkan kepada murid), demonstrasi yang dilakukan oleh guru, latihan yang dilakukan murid-murid dan sebagainya. Demikian pula alat pelajaran yang dipergunakan hendaknya disesuaikan dengan kegiatan-kegiatan beajar yang ditempuh, misalnya kartu-kartu yang berisi nama-nama dan lain-lainyang dapat digunakan dalam mengajarkan pengertian jumlah.
Selanjutnya dengan materi pelajaran yang telah disusun atas dasar kegiatan-kegiatan belajar yang perlu ditempuh, dan tujuan-tujuan yang ingin dicapai, berapakah jumah waktu yang dibutuhkan untuk mengajarkan materi tersebut? Pokok-pokok materi apakah yang akan diberikan pada hari pertama, hari kedua dan seterusnya? Kesemuanya ini menyangkut jadwal pelajaran, yang harus direncanakan dengan seksama sebelumnya, sehingga pelaksanaannya nanti akan berjalan dengan lancar.

5. Melaksanakan Program
Setelah program kegiatan selesai kita rencanakan, maka tibalah saatnya bagi kita untuk melaksanakan program tersebut. Langkah ini merupakan try-out (percobaan) dari program yang telah kita susun. Hasil try-out ini memberikan kepada kita bahan-bahan yang berguna untuk mengadakan perbaikan atau penyempurnaan terhadap program tersebut untuk masa-masa yang akan datang. (Roestiyah N.K, 1990: 99-102)

D. Model-Model Sistem Intruksional
Ada dua model sistem instruksional yang kami temukan yaitu model instruksional yang beracuan prosedur dan model instruksional yang beracuan tujuan, berikut ini sedikit penjelasan dari model-model tersebut.
1. Model Intruksional Yang Beacuan Prosedur
Banyak pendidik percaya bahwa dengan mengamati seorang guru di dalam kelas, seseorang dapat mengambil kesimpulan –kesimpulan yang memuaskan tentang kompetensi mengajar guru tersebut. Inilah asumsi yang mendasari sebagian besar kegiatan supervisi pendidikan. Seorang supervisor mengunjungi kelas dan memperhatikan prosedur-prosedur yang dipergunakan oleh guru tersebut, seperti caranya mengajukan pertanyaan kepada seorang siswanya, caranya menanggapi jawaban-jawaban siswanya, atau caranya menggunakan papan tulis. Sesudah itu supervisor menemui si guru untuk membicarakan cara-cara “memperbaiki tekhnik-tekhniknya. Pembicaraan itu didasarkan asumsi bahwa si supervisor mengetahui tekhnik-tekhnik mengajar yang lebih baik.
Banyak juga penelitian pendidikan yang menelaah masalah-masalah kompetensi mengajar ini terutama berdasarkan prosedur-prosedur yang dipergunakan guru dalam mengajar kelasnya. Kelemahan dari semua usaha untuk memberikan batasan pengertian guru yang baik tersebut adalah bahwa usaha-usaha itu dilandasi konsepsi yang tidak dapat membuat efektifitas pengajaran. Kalaupun pernah, jarang diperhatikan soal yang lebih penting, yaitu apa yang terjadi pada diri siswa sebagai konsekuensi dari prosedur-prosedur yang dipergunakan di keas, padahal ini merupakan soal yang sangat menentukan.
Dengan singkat, konsepsi-konsepsi pegajaran yang beracuan prosedur tidak memadai untuk pengambilan keputusan intruksional oleh guru.

2. Model Instruksional Yang Beracuan Tujuan
Model instruksional yang beracuan tujuan mula-mula memperhatikan soal perilaku yang seharusnya ditunjukan oleh seorang siswa pada akhir pengajaran. Setelah perilaku siswa yang diinginkan itu, yaitu tujuan dirumuskan secara spesifik, pemilihan prosedur pengajaran menjadi mudah sekali dan pada umumnya jauh lebih efektif
Maka keuntungan utama dari model ini ialah bahwa model ini membantu guru dalam mengadakan pemilihan pendahuluan terhadap kegiatan-kegiatan belajar-mengajar. Dengan model ini dapat dipilih kegiatan-kegiatan guru dan siswa yang memperbesar kemungkinan tercapainya tujuan-tujuan interaksional oleh siswa.
Keuntungan kedua ialah bahwa model tersebut memberikan kemungkinan kepada guru untuk lambat laun, meperbaiki rencana program mengajarnya. Seorang guru yang mempergunakan model ini memiliki standar yang jelas sekali yang dapat dipakai sebagai dasar untuk memodifikasi prosedur-prosedur pengajarannya. (W. James Popjom, Eva L Baker, 1992: 8-11)


I III Penetapan Tujuan kegiatan Belajar
Perumusan Tujuan


IV Merencanakan Program Kegiatan

II
Pengembangan V Pelaksanaan
Alat Evaluasi - Pre-Test
- Program
- Post-Test
- Perbaikan


Gbr. Diagram PPSI
Ini menunjukan bahwa hasil evaluasi memungkinkan kita untukmeninjau kembali rencana program, kegiatan belajar, tujuan-tujuan yang telah kita rumuskan, dan alat evaluasi yang telah kita kembangkan. (Roestiyah N.K, 1990: 122-123)



BAB III
KESIMPULAN


Dari pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya maka kami dapat mengambil kesimpulan bahwa PPSI adalah suatu pedoman yang disusun oleh guru dan berguna untuk menyusun satuan pelajaran. Pengertian PPSI juga bisa diartikan dalam ruang lingkup yang luas seperti dalam sistem pengajaran dalam sekolah pembangunan, tapi dapat pula dalam ruang lingkup yang lebih sempit, misalnya sistem dalam pengajaran IPA di SD. Selain itu pengertian sistem berlaku juga untuk ruang lingkup yang sangat terbatas (disebut mycro-sistem).
Dalam PPSI ada 6 (enam) komponen yang harus diperhatikan diantaranya ialah: Pedoman perumusan tujuan, pedoman prosedur pengembangan alat penilaian, pedoman proses kegiatan belajar siswa, pedoman program kegiatan guru, pedoman pelaksanaan program, pedoman perbaikan atau revisi. Selain itu juga perlu diperhatiakan langkah-langkah pokok dalam pengembangannya, diantaranya yaitu: merumuskan tujuan-tujuan pengajaran (intruksional) yang ingin dicapai, mengembangkan alat evaluasi, menetapkan kegiatan-kegiatan belajar yang perlu ditempuh, merencanakan program kegiatan, melaksanakan program.
Jadi PPSI ialah suatu model atau pola pengajaran yang mana dalam prosesnya mengaitkan segala komponen-komponen yang ada secara terorganisir atau tersistem dengan baik yang bertujuan untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang telah diharapkan sebelumnya.











DAFTAR PUSTAKA



Engkoswara, Dasar-Dasar Metodologi Pengajaran, (PT. Bina Aksara: Jakarta, 1984).

Oemar Hamalik, Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem, (PT. Bumi Aksara,: Jakarta, 2002).

Roestiyah N.K., Strategi Belajar Mengajar, (Rineka Cipta: Jakarta, 1990).

W. James Popjom, Eva L Baker, Bagaimana Merumuskan Tujuan Intruksional, (Yayasan Knisius: Yogyakarta 1981.

W. James Popjom, Eva L Baker, Tekhnik Mengajar Secara Sistematis, (PT. Rineka Cipta: Jakarta, 1992).

Senin, 18 Oktober 2010

IDEALISME TINDAKAN GURU TERHADAP MURID DALAM PROSES BELAJAR-MENGAJAR

IDEALISME TINDAKAN GURU
TERHADAP MURID DALAM PROSES BELAJAR-MENGAJAR

I. PENDAHULUAN
Membicarakan tentang guru ibarat mengurut benang kusut, darimana dimulai dan pada titik mana berakhir. Jawaban atas pertanyaan tersebut juga tergantung pada sudut pandang mana yang digunakan dalam melihat guru.
Guru memegang peranan strategis dalam upaya membentuk watak bangsa melalui pengembangan keperibadian dan nilai-nilai yang diinginkan. Dari dimensi tersebut, peranan guru sulit digantikan oleh yang lain. Dipandang dari dimensi pembelajaran, peranan guru dalam proses pembelajaran masih tetap dominan walaupun ilmu pengetahuan dan tekhnologi semakin berkembang pesat.
Selain itu juga, guru harus mempunyai idelisme tindakan-tindakan. Baik dalam kehidupan di sekolah maupun dalam kehidupan di masyarakat. Hal ini dimaksud untuk dapat memberikan nilai yang pasti terhadap guru dari berbagai dimensi. Salah satu idealisme tindakan yang dimiliki seorang guru adalah dalam proses belajar mengajar, dimana guru disini dituntut untuk bisa memberikan yang terbaik terahadap siswa demi mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan.
Dalam makalah ini akan mencoba memberikan sebuah gambaran bagaimana idealisme tindakan yang harus dimilki oleh seorang guru terhadap murid khususnya dalam proses belajar mengajar. Mulai dari pengertian idealisme yang dimaksud dan tindakan-tindakan yang secara ideal mesti dilakukan oleh guru terhadap murid dalam proses belajar mengajar.





II. PEMBAHASAN
A. Pengertian judul
Idealisme yang dimaksud ialah sikap mau menyokong suatu rencana atau program yang belum ada sebelumnya. Tindakan ialah sesuatu yang dilakukan, Perbuatan. Jadi yang dimaksud dalam judul tersebut ialah bahwa guru dalam proses belajar mengajar mempunyai idelaisme tindakan terhadap murid, tindakan yang ideal yang sekiranya dapat membantu proses belajar mengajar berjalan dengan lancar dan membantu tujuan yang akan dicapai.

B. Idealisme Tindakan Guru Terhadap Murid Dalam Proses Belajar Mengajar
Dalam proses belajar mengajar guru diharapkan mampu memberikan sumbangsih yang besar terhadap muridnya. Hal ini demi terciptanya tujuan pendidikan. Maka dari itu idealisme tindakan perlu ditanamkan dalam diri guru tersebut.
1. Pentingnya hubungan guru dengan murid
Harus disadari bahwa mengajar dan belajar mempunyai fungsi yang berbeda, proses yang tidak sama dan terpisah. Perbedaan antara mengajar dan belajar bukan hanya disebabkan karena mengajar dilakukan oleh seorang guru sedangkan proses belajar berlangsung di dalamnya. Bila proses belajar mengajar secara efektif, itu berarti telah terbina suatu hubungan yang unik antara guru dan murid, prose situ sendiri adalah mata rantai yang menghubungkan antara guru dan murid.
Kualitas hubungan guru dan murid adalah penting bila guru ingin menjadi efektif dalam mengajarkan apapun, mata pelajaran apapun, isi bidang studi apapun, keterampilan apapun, nilai atau norma apapun, bahkan kepercayaan atau agama apapun, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, adan yang lain, semua dapat dibuat menarik dan mengasikan anak-anak apabila diberikan oleh guru yang telah mempelajari bagaimana menciptakan hubungan yang saling menghargai antara guru dan murid.

2. Sikap guru terhadap murid
Akhlak guru yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas menghadapi para siswa telah dikemukakan oleh para ahli pendidikan. Ibnu Jama’ah misalnya menyebutkan bahwa seorang guru dalam meghadapi muridnya hendaknya: bertujuan mengharapkan keridhaan Allah SWT, menyebarkan ilmu dan menghidupkan syariat islam, memiliki niat yang baik, menyukai ilmu dan mengamalkannya, menghormati keperibadian para pelajarnya, memberikan peluang pelajaran yang mencerdaskan dan keunggulan, memberikan pemahaman menurut kadar kemampuan murid, dan lain sebagainya.
Sementara itu al-Imam Muhyidin Yahya bin Syarf al-Nawawi, menambahkan bahwa guru dalam bersikap dibarengi dengan senantiasa menunjukan kebaikan kepada dirinya dan putera-puterinya dengan bersikap lembut, sungguh-sungguh memperbaiki budi pekertinya, bersikap sabar dalam menghadapi cobaan dan perlakuan yang kurang menyenangkan dari murid-muridnya. Ibnu Kaldum juga menyebutkan bahwa guru jangan lah bersikap keras tewrhadap muridnya, Imam Al-Ghazali menyebutkan diantaranya ialah bahwa guru harus mencegah murid dari akhlak yang buruk, memberikan pelajaran yang pantas dengan usianya, berbicara sesuai dengan kadar akal muridnya.

3. Kemampuan yang harus dimiliki oleh guru terhadap anak didik
Oleh sebagaian anak, guru dipandang sebgai seorang yang dapat membantu untuk tumbuh dan berkembang menjadi dewasa, guru mesti tahu bagaiman membuat anak menjadi mandiri dan membantunya tumbuh menjadi dewasa. Bukan hanya memberikan pelajaran tetapi lebih dari itu. Ia memberikan gagasan-gagasan baru dan menjelaskannya kepada siswa. Ia mampu menjadikan kelas sebagai lingkungan yang menyenangkan bukannya sepewrti penjara.
Guru dinilai sebagai tokoh yang dapat membawa anak didiknya memasuki masa depan. Guru yang baik mampu membimbing dengan cara yang tepat unt8uk mencapai tujuan. Guru yang baik juga mamapu merangsang siswanya untuk belajar, bukan hanya menyajikan sesuatu yang kurang menarik dan biasa-biasa saja. Guru mesti cakap secara akademiik.
Dari uraian tersebut dapt di tarik benaNg merah bahwa cirri-ciri guru yang baik diantaranya ialah: bersahabat, mencintaisiswanya, memperlakukan siswa sama, mencintai pekerjaanya, dapat menerangkan pelajaran dengan jelas, cakap secara akademik, tidak terlalu kaku, menjadi teladan bagi siswanya, membantu anak untuk maju dan berkembang dan mampu mengantarkan anak untk memasuki masa depan.
Djamarah dalam bukunya “ Guru dan Anak didik Dalam Interaksi Edukatif” menggambarkan bahwa : Guru adalah pahlawan tanpa pamrih, pahlawan tanpa tanda jasa, pahlawan ilmu, pahlawan kebaikan, pahlawan pendidikan, makhluk serba biasa, atau dengan julukan yang lain seperti artis, kawan, warga Negara yang baik, pembangun manusia, pioneer, terpercaya, dan sebagainya”.
Guru yang professional adalah guru yang siap untuk memberikan bimbingan nurani dan akhlak yang tinggi kepada muridnya. Karena pendidikan dana bimbingan yang diberikan bersumber dari ketulusan hati, maka guru benar-benar siap sebagai spiritual father bagi muridnya. Guru yang ideal sangat meresa gembira bersama dengan muridnya, ia selalu berinteraksi kepada muridnya, ia merasa happy dapat memberikan obat bagi muridnya yang sedang bersedih hati, murung, berkelahi, malas belajar. Guru sebagai pendidik dan murid sebagai anak didik dapat saja dipisahkan kedudukannya, akan tetapi mereka tidak dapat dipisahkan dalam mengembangkan diri murid dalam mencapai cita-citanya. Disinilah kemanfaatan guru bagi orang lain atau murid benar-benar dituntut, seperti hadits Nabi :”Khoirunnaasi anfa’uhum linnaas,” artinya adalah sebaik-baiknya manusia adalah yang paling besar memberikan manfaat bagi orang lain. ( Al Hadits ).


III. KESIMPULAN
Guru merupakan seseorang yang sangat luar biasa. Dalam hal ini terkait dengan tindakan yang mesti dilakukannya. Khususnya saja pada anakdidik dalam proses belajar mengajar yang dituntut untuk senantiasa membimbing dan mendidik anak menjadi manusia yang dewasa dan manusia yang mampu menatap masa depan lebih cerah.
Sudah barang tentu bahwa guru disini menjadi tolak punggung yang pertama yang diberi wewenang dalam lembaga sekolah, guru harus mampu berhubungan baik dengan para muridnya demi terciptas suasana pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan. Semua itu akan tercipta jika ada hubunga yang terjalin dengan baik antara guru dan murid.














DAFTAR PUSTAKA

Pius A Partanto, M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya, Arkola, 1994.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka utama, 2008.

Thomas Gordon, Guru Yang Efektif, Jakarta: CV.Rajawali,1990.

Basuki, M. Miftahul Ulum, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam, Yogyakarta: Groun Offset.